Penyelesaian Pelanggaran Pilkada Tidak Bisa Efektif Karena UU
Oleh: Achmad Ramli Karim
Pemerhati Politik & Pendidikan
Ada empat jenis pelanggaran dalam Pilkada di Indonesia, yaitu; pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis dan masih (TSM), serta tindak pidana.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak memiliki kewenangan mengusulkan pemecatan, bagi ASN yang melakukan pelanggaran UU Pemilu baik pelanggaran ringan sampai berat dalam proses Pilkada karena:
(1) sanksinya hanya teguran dari atasannya kalau (pelanggaran ringan), tidak bisa dipromosi jabatan (pelanggaran sedang), dan usul pemecatan oleh atasan langsungnya jika (pelanggaran berat).
(2) Waktu yang dibutuhkan tidak cukup hanya 12 hari untuk penyidikan, pengumpulan keterangan saksi, pengumpulan bukti-bukti, dan proses persidangan.
(3) Kewenangan penyelesaian sengketa pilkada, hanya diselesaikan melalui Bawaslu dan bukan melalui lembaga peradilan.
(4) Personil Bawaslu bukan berasal dari ahli dan profesi hukum, khususnya hukum Tata Usaha Negara dan Pidana.
Titik kelemahan dalam proses penanganan ini terletak pada jangka waktu yang cenderung singkat dengan proses yang amat rumit. Dalam Pasal 480 UU No. 7 Tahun 2017 Jangka waktunya hanya 14 hari sejak diterimanya laporan atau temuan pelanggaran tersebut.
Dalam jangka waktu ini kepolisian harus melakukan penyelidikan dan juga penyidikan yang dimana berdasarkan Peraturan Kepolisian No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengadilan Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian untuk perkara yang paling mudahnya disediakan waktu 30 hari yang dihitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan.
Hal ini membuktikan bahwa waktu yang disedikan untuk menangani perkara pelanggaran tindak pidana Pemilu terlalu singkat dan dapat menyebabkan perkara tersebut menjadi kadaluwarsa.
Bukan hanya karena waktunya yang singkat tetapi prosesnya yang rumit dan bertumpang tindih. Hal ini dikarenakan terjadinya dua proses yang sama terjadi dua kali, yaitu pada saat Bawaslu menerima laporan termasuk penerimaan alat bukti dari pelapor tetapi juga melakukan klarifikasi terhadap seluruh pihak yang terlibat di dalam perkara tersebut baik Pelapor/Penemu, Terlapor, Saksi, dan Pihak Terkait.
Dan juga Bawaslu melakukan kajian mengenai perkara tersebut sebagai dasar Bawaslu menyatakan terjadinya dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu sebagai bahan pembahasan Gakkumdu.
Setelah itu, sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2017 kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan yang dimana hal itu berarti kepolisian melakukan pengecekkan alat bukti, klarifikasi pihak-pihak yang terkait, dan harus melakukan pembahasan kembali apakah laporan atau temuan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan Pemilu atau tidak.
Selanjutnya, pihak kejaksaan pun harus mengecek ulang apakah hasil dari penyidikan dapat dikatakan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana Pemilu atau tidak.
Hal ini menunjukan bahwa proses yang dilakukan sekarang tidak efektif karena sesuai dengan “Teori Efektivitas Hukum”, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh lima faktor yaitu:
(1). Faktor hukumnya sendiri (undang-undang); (2). Faktor penegak hukum; (3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (4). Faktor Masyarakat; (5). Faktor kebudayaan.
Selain dari jangka waktu yang singkat, terjadi juga perbedaan pemahaman dari apa itu tindak pidana Pemilu. Hal ini sangat penting karena tindak pidana dengan tindak pidana Pemilihan Umum adalah hal yang berbeda, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan yang secara tegas tertulis dalam rumusan undang-undang sebagai perbuatan yang dilarang,
Sedangkan pengertian dari tindak pidana Pemilihan Umum adalah perbuatan yang tertulis dalam UU No. 7 Tahun 2017 sebagai perbuatan yang dilarang dan jika dilakukan maka akan dikenakan sanksi pidana dan perbuatan lain yang tertulis sebagai perbuatan yang melawan hukum yang harus mengandung unsur Pemilu didalamnya.
Jika perbuatan tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan Pemilu, maka perbuatan itu walaupun termasuk melawan hukum dan dilakukan pada saat berjalannya Pemilu tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan itu termasuk kedalam tindak pidana Pemilu.
Perbedaan pemahaman tersebut merupakan masalah yang mendasar yang menyebabkan proses penanganan perkara pelanggaran tindak pidana Pemilu menjadi lemah, karena masing-masing pihak yang terlibat didalam nya memiliki pandangan yang saat melihat suatu perkara. Masing-masing pihak memiliki pandangan yang berdasar kepada pedoman yang dimilikinya. Oleh karena itu, yang seharusnya dapat dikatakan sebuah pelanggaran tindak pidana Pemilu tidak tercapai.
Untuk menyatakan suatu tindakan sebagai pelanggaran tindak pidana Pemilu atau dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu, seluruh pihak yang terlibat dalam Gakkumdu harus menyatakan atau menyepakati bahwa laporan atau temuan itu memenuhi unsur dan dapat dikatakan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu.
Kalau salah satu pihak saja tidak menyepakati maka laporan itu tidak akan ditindak lanjuti. Soerjono Soekanto dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, menguraikan bahwa penanganan perkara pidana Pemilu sering kali dihadapkan pada beberapa permasalahan yang dapat menghambat prosesnya.
Beberapa permasalahan yang sering muncul dalam penanganan perkara pidana Pemilu meliputi:
1). Kurangnya Bukti yang Kuat: Salah satu tantangan utama dalam penanganan perkara pidana Pemilu adalah kurangnya bukti yang cukup kuat untuk mendukung dakwaan. Karena sifatnya yang kompleks dan seringkali tersembunyi, pembuktian pelanggaran Pemilu dapat menjadi sulit, terutama jika pelaku memiliki akses yang terbatas.
2). Keterlibatan Politik: Keterlibatan politik dalam penanganan perkara pidana Pemilu dapat menjadi hambatan serius.
3). Tekanan politik dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus atau dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik dapat mempengaruhi independensi lembaga penegak hukum dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
4). Keterbatasan Sumber Daya: Keterbatasan sumber daya, baik itu dari segi personel, anggaran, atau infrastruktur, sering kali menjadi kendala dalam penanganan perkara pidana Pemilu.
Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan lembaga penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang komprehensif dalam menyelidiki kasus-kasus dengan cepat dan efektif.
5). Kompleksitas Hukum Pemilu: Hukum Pemilu yang kompleks dan beragam di setiap negara dapat menyulitkan proses penanganan perkara pidana Pemilu. Karena aturan Pemilu seringkali berubah dan terkadang ambigu, hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan apakah suatu tindakan melanggar hukum atau tidak.
6). Ketidakpastian Hukum: Ketidakpastian hukum terkait dengan interpretasi dan penerapan undang-undang Pemilu juga dapat menjadi masalah dalam penanganan perkara pidana Pemilu. Ketika aturan-aturan Pemilu tidak jelas atau terbuka untuk interpretasi yang berbeda, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan ketidak pastian dalam penegakan hukum.
7). Ketidak mampuan Mengidentifikasi Pelanggaran: Terkadang, kesulitan dalam mengidentifikasi pelanggaran Pemilu secara tepat juga dapat menjadi permasalahan dalam penanganan perkara pidana Pemilu. Pelanggaran Pemilu seringkali terjadi di balik layar dan sulit dideteksi tanpa adanya bukti yang kuat atau pengungkapan dari pihak terkait.
8). Keterbatasan Sistem Hukum: Beberapa negara mungkin menghadapi keterbatasan dalam sistem hukum mereka yang dapat mempengaruhi penanganan perkara pidana Pemilu. Ini termasuk kelemahan dalam prosedur hukum.
9). Rendahnya tingkat transparansi, atau kurangnya independensi lembaga penegak hukum: Penanganan perkara pidana Pemilu selain membutuhkan pengetahuan umum mengenai tindak pidana, juga perlu pengetahuan khusus karena Pemilu merupakan proses politik dimana berbagai modus tindak pidana Pemilu sangat tersamar dan sangat rumit karena memiliki nuansa politik yang sangat kental.
Salah satu contoh dari perbedaan pemahaman ini dapat dilihat dari yang terjadi di Sumatra Barat, Kota Padang dimana dalam kasus ini Bawaslu meyakini bahwa telah terjadinya dugaan pelanggaran karena kampanye telah dilaksanakan dengan kehadiran dari dua belas kepada daerah.
Setelah ditelusuri oleh Bawaslu ternyata kedua belas kepala daerah tersebut tidak memiliki surat izin cuti yang dimana didalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 281 ayat (1) huruf b tertulis bahwa: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presidan, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan:
(a). Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
(b). Menjalani cuti di luar tanggungan Negara.
Bawaslu menemukan adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 7 Tahun 2017, tetapi dalam pembahasan Gakkumdu berkesimpulan bahwa tidak terpenuhinya unsur tindak pidana Pemilu disini,
sedangkan Bawaslu percaya keras dan nyata bahwa kejadian tersebut termasuk kedalam unsur tindak pidana Pemilu. Walaupun Bawaslu memiliki kepercayaan dan bukti yang kuat, perkara itu tidak bisa ditindak lanjuti lebih lanjut karena terjadi ketidak sepemahan dan kesepakatan.
Dengan demikian jangka waktu penanganan, menyebabkan sering terjadinya perkara terlambat untuk diselesaikan atau bahkan dinyatakan sebagai kadaluwarsa.
Proses ini dapat dikatakan bahwa telah terjadinya keterlambatan dalam pemberian keadilan kepada para pelapor atau juga masyarakat yang merasa terlah dirugikan dengan tindakan terlapor tersebut dan merasa kecewa karena keadilan yang mereka harapkan tidak tercapai bahkan tidak diproses.
Kejadian ini juga dapat dikatakan bahwa telah terjadinya ketidakadilan karena sesuai dengan adagium hukum yaitu “justice delayed is justice denied” atau keterlambatan dalam memberikan keadilan merupakan bentuk lain dari sebuah ketidak adilan.
Hal ini akan menyebabkan menurunkan tingkat kepercayaan Masyarakat terhadap Pemerintahan dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan menurunkan keinginan Masyarakat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan Pemilu tersebut.
Dengan menurunnya tingkat kepercayaan publik, hal itu mengindikasikan bahwa Pemilu yang dijalankan tidak berhasil atau dapat dinyatakan sebagai kegagalan demokrasi. Karena tanpa adanya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi (Pemilu), maka pemerintahan yang terbentuk bukanlah pemerintahan yang memiliki legitimate kedaulatan dari rakyat itu sendiri.
Makassar, 24 Oktober 2024.
Comment