“Lapor, Pak Wakil!” suara sang ajudan memecah keheningan. Di ruangan itu, yang terdengar hanya denting jarum jam yang seolah menghitung detik-detik akhir. Wajah sang Wakil Bupati Negeri Selatan terlihat murung, penuh keputusasaan.
Hari itu, jadwal pendaftaran kepala daerah resmi berakhir. Harapannya lenyap bersama waktu yang tak bisa kembali. Dalam hening, ia tahu bahwa penyesalan takkan mengubah apa pun. Namun, kekecewaan tampak jelas terlukis di wajahnya, seolah menggantung harapannya kepada sang atasan, Bupati Selatan.
Beberapa hari lalu, sebuah koran terbitan lokal menampilkan judul yang menyentuh, “Kalau Melihat Pak Wakil Senyum, Saya Rela Tak Dapat Jabatan.” Kini, judul itu terasa begitu ironis, menambah getir suasana hati. Di tengah kekecewaan yang mendalam, hastag #TenaSilariang menggema di grup sosmed internal Negeri Selatan.
Apa makna di balik kata-kata itu? Tena Silariang—tak lari dari kenyataan, mungkin? Atau tak akan berkhianat, meski dikhianati? Tak ada yang tahu pasti. Yang ada hanya perasaan terluka, menari-nari di atas luka yang tak kunjung sembuh.
Di akhir waktu, semuanya terasa sia-sia. “Waktu habis, Karaeng,” bisik hati kecilnya, menatap senja yang perlahan memeluk Negeri Selatan dengan kegelapan.
Oleh Arfandi Pallallo Pegiat Literasi Gowa
Comment