Cendikiwan Muslim di tengah Kejumudan Umat

Cendikiwan Muslim di tengah kejumudan umat

By. Usman Lonta

Umat islam sangat mahir berjalan dilangit, namun gagal berjalan di bumi. Ungkapan ini adalah seba’it syair Muhammad iqbal. Seorang penyair dan pemikir dari pakistan, menggambarkan kehidupan sekuler “kanan” negara pakistan yang cenderung meninggalkan hiruk pikuk perebutan kekuasaan, ekonomi umat, kepedulian terhadap lingkungan hidup, dan kepedulian sosial di negara tesebut.

Mereka hanya rajin ke masjid-masjid, ke surau-surau untuk bermunajab kepada Sang Khalik, pada saat yang bersamaan mereka membiarkan kekuasaan dikendalikan oleh orang yang nihil moral, nihil peradaban, sehingga penindasan, ketidakadilan dan segala macam perampasan hak atas warga berjalan secara sempurna.

Kondisi inilah yang dikritik oleh Muhammad iqbal bahwa umat islam mampu berjalan dilangit tapi gagal berjalan di bumi. Bumi adalah tempat berpijak, tempat berkembang biak bagi seluruh makhluk. Tempat menegakkan keadilan, tempat tumbuh suburnya peradaban. Tempat terpenuhinya hak – hak makhluk.

Dalam ajaran islam sudah menjadi doktrin, bahwa ajaran islam adalah ajaran yang membawa rahmat bagi alam semesta. Tetapi cara pandang umat islam yang cenderung APOLITIC, sangat berpotensi melahirkan kepemimpinan yang tidak sesuai ajaran dasar agama islam tersebut. Islam memerintahkan untuk menegakkan keadilan, berbuat ihsan, dan berbagi kepada kerabat, sekaligus melarang tiga hal yaitu perbuatan keji, perbuatan munkar, dan permusuhan (pemberontakan) (QS. Annahl ayat 90) sering digunakan penutup khotbah jumat.

Seolah pesan tersebut diperuntukkan kepada jamaah jumat yang mayoritas rakyat jelata yang setiap hari menerima perlakuan tidak tidak adil. Pesan sentral ayat tersebut seharusnya menyentuh jantung kekuasaan agar seluruh kebijakannya mencerminkan keadilan sisial bagi seluruh rakyat indonesia sesuai amanah konstitusi.

Tugas cendikiawan, para muballigh, ulama dan pemuka agamalah yang sejatinya berfungsi untuk mencerahkan umat, agar mereka tidak berada pada pusaran kegelapan politik. Umat harus memahami bahwa penyebab utama tumbuh suburnya kekejian, kemungkaran dan permusuhan/pemborontakan adalah ketidakadilan, lemahnya sikap ihsan, dan lemahnya solidaritas. Sampai di sini, tepat apa yang disampaikan oleh Ali Shariati tentang tugas cendikiawan Muslim antara lain :

1. Membangun kesadaran kolektif umat islam. Cendikiawan muslim bertugas umtuk membangun kesadaran umat agar seluruh kekuatannya; kekuatan intelektual, kekuatan massa, kekuatan spritual, termasuk kekuatan ekonomi umat, perlu diramu menjadi kekuatan politik, merebut kepemimpinan Nasional secara konstitusional.

2. Melawan kezaliman. Umat islam harus tampil melawan kezaliman, membela kaum mustad’afin, atas kesewenang-wenangan penguasa tiran. Baik terang-terangan maupun tersembunyi. Kezaliman yang terang-terangan melalui sikap arogansi kekuasaan, melalui proses hukum yang tidak adil, dll. Kezaliman tersembunyi melalui kebijakan pemerintah melalui UU, perpres dll.

3. Mengemban peran sebagai pemimpin sosial. Peran seperti ini sangat sentral dalam membangun kepemimpinan umat. Peran sebagai pemimpin sosial, membutuhkan transformasi sebagai pemimpin politik yang berorientasi pada tegaknya keadilan, dan runtuhnya kezaliman.

Umat islam belum terkonsolidasi dalam setiap even pemilu, mereka masih mudah dimobilisasi dengan sembako, amplop, dan aparat. Mereka belum secara mandiri menentukan pilihan berdasarkan visi besar partai, dan kandidat yang menjadi pilihannya. Kenapa demikian?

Apakah cendikiawan muslim belum berperan maksimal seperti yang dijelaskan oleh Ali Shariati? Ataukah umat islam lagi kehilangan harapan melihat ulah dan tabiat para politisi hari-hari ini? Masihkah ada harapan politik islam di masa depan?

Mari kita bedah satu persatu dari pertanyaan tersebut di atas.

Pertama, bahwa peran cendikiawan muslim untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat terhadap ketidakadilan, kezaliman, belum mencapai tahap sempurna. Cendikiawan muslim belum bertransformasi menjadi pemimpin politik, masih diorganisir oleh pihak kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan penguasa, persis seperti bal’am pada zaman Nabi Musa. Bal’am adalah sosok yang sering membenarkan kesewenang-wenangan Fir’aun sebagai pemimpin tiran yang dilawan oleh Nabi Musa.

Kedua, umat nyaris kehilangan harapan, sehingga mereka sangat prakmatis, umat sangat susah mendapatkan differensiasi antara politisi pragmatis dan politisi pejuang keadilan . Implikasinya mereka memilih tanpa arah, tanpa kesadaran.

Ketiga, harapan umat untuk kembalinya kejayaan kepempinan yang berbasis keadilan, ihsan dan penyantun, perlu perenungan mendalam. Cendikiawan muslim dan umat islam perlu merenungi kisah Nabi Yunus. Cendikiawan muslim mengambil ibrah Nabi Yunus untuk tidak meninggalkan umatnya.

Meskipun cendikiawan muslim tidak akan pernah ditelan oleh ikan hiu, namun perlu pemahaman kontekstual bahwa ikan hiu yang akan menelan para cendikiawan muslim adalah penjara, pengasingan, kerusakan peradaban, jika tidak melakukan pertaubatan, yakni kembali membimbing umat agar tumbuh kesadaran kolektif untuk menegakkan keadilan, seperti kembalinya Nabi Yunus ke pangkuan umatnya dengan doa yang sangat populer Lailaha Illa Anta Subhanaka innii kuntu minadzalimin.

 

Wallahu a’lam bishshawab

Sungguminasa, 12 Pebruari 2025

ads
ads ads

Comment